Ekspektasi Daya Saing Melalui “Indikator Intangible”

daya saingDalam sejarah, 8 September 1964 telah ditetapkan UNESCO sebagai Hari Aksara Internasional. Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya budaya literasi. Sebagai upaya keberaksaraan, UNESCO mencanangkan United Nations Literacy Decade (UNLD) atau Dekade Keaksaraan. Dekade ini ditujukan untuk meningkatkan tingkat melek aksara dan memberdayakan seluruh masyarakat. Pada awal UNLD, tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut menjadi 7,54 juta orang. Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen buta aksara pada tahun 2015. Sebab pemerintah meyakini bahwa awal dari peradaban adalah keaksaraan itu sendiri yang berjalan dari masyarakat yang belajar. Kemampuan baca tulis dan berhitung itu sifatnya berkelanjutan

Keaksaraan adalah alat yang sangat diperlukan agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial dan ekonomi, yang akan mengarah kepada pembangunan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan. Keaksaraan memberdayakan dan membangun masyarakat dan membantu terwujudnya pelaksanaan hak asasi manusia yang adil. Bagi para ibu, keaksaraan akan mengarah kepada peningkatan kualitas hidup bagi keluarga mereka dan perbaikan hasil akhir pendidikan anak-anak mereka. Namun, meski demikian pentingnya keaksaran tetapi pengentasan pendidikan keaksaraan terjebak dalam tiga persoalan penting seperti sikap, kebiasaan, dan dorongan-dorongan seseorang yang membuatnya merasa tetap bisa mendapatkan uang tanpa perlu bisa membaca.filosofi kehidupan yang luhur bertabrakan dengan hal-hal yang sifatnya lebih kepada materi. Nilai-nilai ini dikalahkan karena orang menganggap kemampuan membaca tidak penting. Mereka berpikir, lebih baik tidak bisa membaca tetapi punya uang. Mereka tidak tahu bahwa dengan membaca maka kita bisa memegang nilai-nilai luhur dari bangsa dan kehidupan ini.

Dalam tema keaksaraan, perdamaian, dan karakter bangsa yang ditetapkan pemerintah, kita dapat melihat aspek penting bahwa ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.  Bahwa pembangunan karakter suatu bangsa  bukan hanya harus dimulai dalam konteks menuntasakan buta huruf semata, tapi juga dalam aspek hak-hak hidup manusia, karena itu keaksaraan sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Bukti akan hal ini dapat kita rujuk dari “EFA Global Monitoring Report, Literacy for Life (2006), UNESCO yang menyebutkanbahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja seseorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Laporan tersebut menilai bahwa masalah buta aksara merupakan masalah yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara dunia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayan suatu masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan sejarah suatu bangsa dimana umumnya negara-negara miskin dan korban jajahan memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi.

Literasi Tolok Ukur Kemajuan

Instruktur membaca, Steve Snyder, pernah membaca empat belas buku dalam suatu penerbangan antara Los Engeles dan Sidney, Australia. Dengan menggunakan teknik yang dikembangkannya, ia biasanya membaca tiga atau empat buku fiksi ataupun nonfiksi dalam satu malam. Kecepatan membacanya lima ribu kata permenit. Kedengarannya ini cepat sekali, namun menurutnya ini kecepatan yang biasa (jogging speed). Kecepatan sprint-nya sekitar sepuluh ribu kata permenit. Ketika Ia mulai bersekolah di kelas satu, ia telah membaca empat ratus buku, termasuk novel-novel Mark Twain, Jules Verne, dll. (DePorter dan Hernacki, 1999:269).

Deegan dan Tanner (2002) dalam bukunya “Digital Futures: Strategies for the Information Age”. Mereka memberikan perkiraan bahwa produksi informasi dunia sekitar 1,5 juta milyar informasi per tahun. Jumlah tersebut kira-kira sama dengan 250 MB atau ekuivalen dengan 250 buku yang dihasilkan setiap orang di planet bumi ini. Sehingga, kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan penting untuk menyerap informasi. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang, ia harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per minggu apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara 4—6 jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu, sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi.

Hal ini adalah salah satu faktor, yang menyebabkan masyarakat Barat lebih maju, terlebih sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literacy) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi. Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu-individu yang sedikit sekali menunjukkan koherensi, kebersamaan, solidaritas, apalagi kegotongroyongan. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir masih suburnya iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun. Hal ini tentu akan mempengaruhi pola berpikir individu. Jika siswa yang mempunyai visi, cara pandang, dan pendapat yang berbeda dengan gurunya, ia akan mendapat perlakuan yang kurang baik, bahkan dicurigai, dikucilkan, dan sebagainya.

Ekspektasi dan daya saing

Harveydan Mason (1996) menyatakan bahwa ada lima hal penting yang harus dimiliki oleh setiapSDM di dalam persaingan global ini, yakni (1) pengetahuan, (2) kemampuan intelektual, (3)kemampuan bekerja dalam organisasi modern, (4) interpersonal skills, dan (5) ketrampilankomunikasi.  Persyaratan-persyaratan  seperti  itu,  sebenarnya  merupakan  hasil  dariperkembangan teknologi yang sangat kompleks dan kemudian membawa kita kepada intraksiglobal yang semakin meningkat dan berdampak pada adanya ‘keharusan’ setiap peserta didikmemiliki daya saing dengan sejumlah keunggulan.

Atas kondisi ini perlunya sekolah membangun gerakan literasi khususnya dalam membangun budaya membaca. Sebab dengan membaca, seseorang dapat meningkatkan ilmu pengetahuan sehingga daya nalarnya berkembang dan berpandangan luas, yang akan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dan nantinya dapat meningkatkan daya saing dirinya secara pribadi yang secara tidak langsung juga meningkatkan daya saing bangsa Indonesia.

Hal ini mengingat bahwa hingga tahun 2011 angka buta huruf di Indonesia masih mencapai 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari total penduduk Indonesia yang berusia 15-45 tahun. Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkan, hingga tahun 2011, masih ada 11,7 juta anak Indonesia yang tidak pernah tersentuh pendidikan dasar. Masih tingginya angka buta huruf di Indonesia akhirnya membuat daya saing SDM bangsa Indonesia bisa dikatakan masih cukup rendah, menurut Human Development Report yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2012, rangking Indonesia berada di urutan ke-121 dari 187 negara.

Literasi merupakan indikator knowledge yang oleh sejumlah ahli telah menjadi ukuran baru dalam mengukur daya saing dan produktivitas dalam era knowledge based economy hari ini. Indikator yang bersifat intangible (nirwujud), sulit dikuantitatifkan akan tetapi memiliki dampak yang jangka panjang. Dampak indikator kualitas pendidikan suatu negara akan terasa setelah 25 sampai 30 tahun yang akan datang. Indikator ini sekaligus menjadi alasan mengapa daya saing kita tidak kunjung meningkat, meski indikator ekonomi Indonesia seperti pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB), lapangan kerja dan jumlah penduduk miskin menunjukkan perbaikan.

Data World Economic Forum (WEF) dalam  The Global Competitiveness Report 2013-2014, di tahun 2013 ini, indeks daya saing Indonesia meloncat dari posisi 50 menjadi peringkat 38 dari 148 negara. Namun, meski naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya, Indonesia belum bisa berbangga diri karena bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia masih menempati peringkat kelima. Empat negara yang berada  di atas Indonesia adalah Singapura (urutan 2), Malaysia (24), Brunei Darussalam (26) dan Thailand (37). Sedangkan  sepuluh besar teratas dalam Global Competitiveness Index 2013-2014 ditempati oleh Swiss , Singapura, Finlandia, Jerman, Amerika Serikat, Swedia, Hongkong, Belanda, Jepang dan Inggris. Padahal seharusnya, Indonesia menempati urutan yang lebih baik dari saat ini. Oleh sebab itu literasi sebagai, indikator kualitas pendidikan yang perlu ditingkatkan. Sebab dapat menjadi sebuah efek domino, yang jika kita terlambat menyadarinya akan diperlukan waktu yang amat panjang – satu generasi- untuk mengoreksinya.