Politik Salon dan Demokrasi Artifisial

Tanpa bermaksud menyinggung siapapun, hari ini kita disuguhkan sebentuk gaya komunikasi politik baru dinegeri ini. Kondisi dimana,para politisi berlomba membuat pernyataan bahwa dirinya tidak tahu dudukperkara apa-apa tapi dimaki-maki di media sosial. Di satu sisi dia menempatkan dirinya sebagai orang yang bermuka manis (dengan niat menipu) kepada warga(agar ia mendapatkan simpati dari warga), sementara di sisi lainnya iamenampilkan diri sebagai orang yang naif dan innocent. Permainan teater apalagiini? Tentu tidak salah karena politik sendiri adalah seni bagaimana mengelola kekuasaan dan untuk mencapainya.

Seluruh perilaku dan cara berpikir seperti yang ditunjukkan oleh politikus di atas, tanpa bisa dibantah lagi, adalah ciri-ciri pemimpinpolitik yang ditakutkan Soekarno akan menjangkiti pemimpin-pemimpin yangmengaku-aku sebagai perwakilan rakyat atau massa bawah. Enam puluh lima tahunyang lalu, lewat bukunya yang fenomenal berjudul Sarinah, Bung Karno telah mewanti-wanti agar politisi jangan sampai menjadi salon politikus.

“Salon politicus”, adalah istilah yang diperkenalkan Dr.Muhammad Amir pada tahun 1925, dalam sebuah buku bertajuk Bunga Rampai,Kumpulan Karangan yang Terbit Tahun 1923-1939. Tentang perilaku pejuang politik waktu itu yang berbicara dengan kata-kata manis, mencitrakan dirinya seorangpejuang keadilan, atau paling tidak mengatasnamakan rakyat. Mencitrakan diriuntuk terlihat cantik di depan kalayak, di depan massa pendengar yang memang sedang antusias pada politik. tetapi, tidak semua di antara kaum pergerakan itu,betul-betul “jang maoe memikoel konsekwensi dari kejakinannja”. Yaitu merekayang mau setia pada apa yang diucapkan. Mereka yang mau menanggung setiapkata-kata yang dikeluarkannya, bukan sekedar untuk mendongkrak citra dirinya didepan orang ramai. Di antara yang banyak itu, ada bergelimpangan oportunis-oportunis, yang memasuki kancah politik untuk “mengisi sakoe sendiri”, demikian tulis M. Amir.

Budaya atau Fenomena

Almarhum penyair WS. Rendra, di tahun 1980an, pernahmemperkenalkan sebuah istilah yang kemudian juga terkenal: ‘penyair salon’.Mereka, tulis Rendra dalam sebuah sajak, adalah penyair yang asyik-masyuk“bersajak tentang anggur dan rembulan” sementara melupakan realitas sosial yang buruk tempat di mana mereka berpijak. Penyair yang sibuk bersolek diri dengankeindahan kata-kata, tetapi tidak mau terlibat dalam kenyataan pahit darimasyarakatnya.

Menggunakan perspektif ini maka maraknya ‘politik salonkecantikan’ merupakan cermin menguatnya kerja-kerja sistem kaptalisme yang tujuan utamanya adalah mendapatkan kekuasaan belaka. Sehingga mengutipkata-kata filsuf Plato, bahwa politisi adalah moralis “pemintal kata-kata” yang tak hilang inspirasi, maka bagi aktor “politik salon kecantikan” ini politikdigunakan untuk mengekspresikan demokrasi dan aktualitas komunikasi politikdengan cara yang dangkal.

Hal ini tidak bisa kita lepaskan seiring menguatnya peranmedia, yang pada era demokrasi saat ini begitu luar biasa. Media akan selalumengungkap, dan memberitahukan kepada publik tentang apapun hal yang dilakukanoleh partai politik, maupun elite-nya. Dapat dikatakan pula bahwa media ibarat salon kecantikan, karena dapat mengubah seseorang yang hitam, menjadi terang benderang atau pun sebaliknya. Seseorang yang menjadi media darling apapun yang dilakukan menjadi benar. Yang nyata dan maya sudah menjadi satu.

Oleh karenanya, jauh-jauh hari Bung Karno sudah mengingatkan, agar “Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separuhdaripada politisi kita adalah salon politisi yang mengenal Marhaen hanya dari sebutan saja. Politikus yang demikian itu sama dengan seorang jenderal tak bertentara. Kalau dia memberi komando, dia seperti orang berteriak di padang pasir.”

Pada gilirannya literasi politik dalam bentuk pendidikanpolitik kepada masyarakat menjadi penting dilakukan. Partai politik, anggotalegislatif dan lembaga pemerintah harus mengambil peran dalam membukakomunikasi politik yang lebih mencerdaskan. Mengingat dalam politik, pembentukanopini publik ini melibatkan banyak pihak sebagai penghubung antara kandidatpolitik dengan konstituennya, salah satunya ialah media yang selama inidiyakini sebagai the builder of public opinion. Brian McNair juga menekankanbahwa pada era saat ini politik mengalami metamorfosis. McNair menyebutnya dengan istilah era politik yang menggunakan media atau politics in the age of mediation.

Popularitas ini menuntut para kandidat untuk menampilkanidentitasnya selaras dengan ‟selera publik‟. Namun jangan dengan menampilkan sesuatu yang menurut Eric Louw (2005) sebut hype, sebagai yang secara harfiah dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya melebih-lebihkan. Sebab dalam peranapapun parlemen adalah habitat yang harus dekat dengan problematika rakyat. Pilihan atas nilai-nilai ideal menjadikan politikus pejuang, tak sibuk memikirkan segala hal artifisial: gaya, penampilan, citra, kekayaan, dan hedonisme.Kesederhanaan dan kewajaran jadi cakrawala. Kesantunan berperilaku jadi langgam interaksi sosial. Kejujuran dan ketulusan jadi napas hidup. Etika dan moralitasjadi panduan pikiran dan tindakan. Keberhasilan mengangkat rakyat dari lautanlumpur penderitaan adalah pamrihnya, seperti cita-cita priayi dalam novel Para Priyayi Umar Kayam.

Bekerja berbeda dengan mencipta. Bekerja menghasilkan kerajinan. Mencipta melahirkan berbagai kemungkinan dari yang semula tidak ada jadi ada. Mencipta berarti juga bereksplorasi dan berinovasi. Pejuang politikmenciptakan sesuatu berdasarkan ideologi, komitmen, integritas, dan kapabilitas. Panggilan berpolitiknya adalah dedikasi atas kemanusiaan,kemasyarakatan, dan cita-cita membangun peradaban negara-bangsa.Sehingga perludidukung dengan kerja-kerja nyata dari para wakil yang memiliki mandat rakyat untuk melaksanakannya.

Beragama dengan Logika Kebersamaan

BersamaTulisan ini dimulai disaat demam piala dunia mencapai puncaknya, dan Jerman terpilih sebagai kontestan terbaik setelah menaklukkan Argentina. Meski beberapa waktu sebelumnya banyak logika pengamat bola mengatakan Jerman adalah tim yang layak menjadi juara. Penampilan yang konsisten menjadikan mereka adalah pemenang yang pantas, tim yang lebih baik. Namun tidak sedikit yang percaya pada fantasi dikaki Lionel Messi, hal yang sudah ditakdirkan hingga membawa negaranya Argentina memenangkan Piala Dunia.

 

Ditengah modernisasi dan globalisasi, tidak berfungsinya logika menjadi hal menarik. Padahal dari mereka yang tinggal dinegara barat sebagai pusat peradaban akal, yang sering terkesan sekuler. Keadaan ini membuat keinginan untuk melihat bagaimana keberagamaan Islam berlaku disana, obyek selanjutnya adalah Amerika Serikat sang negara adidaya. Keinginan ini terdorong sesaat menyaksikan pidato Ali Nourman Khan, sebuah perspektif baru tentang surat al fatihah disebuah media sosial youtube.

 

Sebuah hal yang tentu sangat berbeda dengan mayoritas yang terdapat dalam dakwah-dakwah Islam di Indonesia. Seperti kita tahu, logika berasal dari kata Yunani kuno logos yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat, sehingga terdapat kesan bahwa logika domain mereka yang ada diperguruan tinggi atau kalangan terpelajar yang jumlahnya terbatas.

 

Uwes Fatoni menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah Islamic center atau masjid di Amerika mengalami peningkatan yang cukup tajam. Menurut Imam Sham si Ali, sebelum peristiwa 9/11 tahun 2001 jumlah masjid di New York masih bisa dihitung dengan jari. Saat ini, setelah 13 tahun peristiwa itu berlalu, jumlah masjid ber tambah sampai 250 buah yang tersebar di seantero Kota New York. Bahkan, Islamic Center Park 51 yang berada dua blok dari Ground Zero tempat WTC hancur, diizinkan berdiri oleh wali kota New York saat itu, Bloomberg, yang keturunan Yahudi, padahal saat itu beberapa warga New York menentangnya.

 

Perkembangan Islam juga bisa dilihat dari menjamurnya kedai makanan halal. Dalam empat tahun terakhir di Kota New York bermunculan pedagang kaki lima (cart food) yang berlabel “halal food”. Hampir di setiap pusat keramaian dan tempat wisata New York bisa ditemukan dengan mudah kedai makanan halal tersebut, seperti di Times Square, kantor PBB, bahkan dekat lokasi memorial Park 9/11 Ground Zero.

 

Melalui video tersebut tampak bahwa dakwah yang dilakukan oleh Ali Nourman Khan penuh dengan logika rasionalitas dengan sedikit mengutip dalil atau ayat al quran. Ada sisi unik dari kegiatan dakwah Islam di Amerika. Dakwah tidak hanya dilakukan secara eksklusif internal, tapi juga secara eksternal (outreach), yaitu melalui dialog dengan komunitas agama lain. Seperti Imam Shamsi Ali yang menginisiasi program dialog lintas iman (interfaith dialogue) dengan komunitas Yahudi bersama-sama dengan Rabbi Marc Schneier, tokoh terkenal Rabbi Yahudi di New York. Namun, tanpa disadari banyak pihak sebenarnya metode dakwah dengan logika adalah metode yang juga digunakan oleh para walisongo dari sekian metode dakwah yang digunakan.

 

Sejarah mencatat betapa dengan Sunan Kudus menyarankan untuk tidak menyembelih kerbau sekedar menghormati kaum Hindu waktu itu. Hingga pada akhirnya makanan khas Soto Kudus berbahan utama daging kerbau bukan daging sapi sebagaimana lazimnya masakan soto sejenis.

 

Atau coba kita tengok karya besar Sunan Kalijaga yang demikian apik menggubah wayang hindu menjadi wayang sesuai ajaran agama Islam yang hingga kini kita nikmati. Sungguh betapa logika keberagamaan untuk dapat hidup bersama dan mengajak pada kebaikan menjadi semangat utama, jauh dari pembenaran tindakan atau pengkafiran kelompok sebagaimana lazim kita jumpai hari ini.

 

Komitmen Pada Kebersamaan

Pakar psikologi mencatat bahwa kemampuan logika dibentuk dari pemahaman dan kemampuan berfikir kritis. Logika dalam beragama lahir dari kepekaan untuk menjawab realita bukan dalil Qur’an semata. Tetapi juga dengan membenamkan esensi syariah, al muhafadatu ala qodimu as sholih al ahdu bil jaded as sholih (melestarikan tradisi yang baik dan mengambil hal baik dari sesuatu yang baru). Sebuah yang tentu tidak mungkin dihasilkan dari pemahaman yang lemah dan kering, tetapi dari keluasan pengetahuan dan wawasan. Anda dapat melihat hal ini pada kemampuan beberapa tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus dan lain-lain, yang terkenal dengan kemampuan pidato yang low kontek namun mengena dan padat makna. Menterjemahkan rahmatan lil alamin bukan sebatas lisan tetapi juga pada komitmen untuk hidup bersama sebagai umat Tuhan tanpa diskriminasi dan intimidasi.

 

Apa yang hadir hari ini adalah kelompok yang cenderung menggunakan dalul qur’an secara serampangan, hanya sekedar untuk menyalahkan atau membenarkan suatu kelompok. Bukankah tujuan dakwah harus berorientasi jangka panjang, untuk mengajak sebanyak-banyak orang ke jalan yang benar. Apakah mungkin dakwah yang penuh dengan peringatan dan dalil akan diterapkan oleh Rosullah dimasa-masa sulit dan sedikitnya kaum Islam Mekkah  waktu itu. Tapi dengan komitmen pada kebersamaan, sejarah pun mencatat Umar bin Khattab yang dulunya paling terdepan membeci Nabi menjadi khalifah dan pemimpin Islam yang paling disegani. Apakah ini bukan menjadi bukti untuk kita menjadi lebih korektif?

 

Untuk membangun komitmen kebersamaan, langkah awal yang perlu kita lakukan adalah menghapus dikotomi antara kafir dan bukan kafir, menggantinya sebagai saudara sebangsa namun bukan dengan maksud menyamakan agama atau ajaran. Membiasakan memandang persamaan yang menjadikan kita wakil Tuhan dibumi yang mensejahterakan dan memakmurkannya dengan kebajikan. Bukan dengan mempertajam perbedaan dan mempersalahkan sesama umat beragama. Memandang bahwa ada proses logika dalam beragama yang kita kenal dengan istilah hidayah, yang membutuhkan waktu dan ruang. 

 

Membesar ruhul dakwah, semangat untuk mengajak pada kebaikan warisan besar Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sehingga kita tidak selalu menjawab pertanyaan hanya dengan dalil tetapi dengan logika yang sederhana, untuk meluruskan hal semestinya ada. Bukankah, agama Islam hadir dengan tujuan yang demikian. Tentu kita dapat belajar pada Tawakkul Karman, peraih Nobel Perdamaian 2011 dari Yaman, saat ditanya wartawan tentang jilbabnya, bagaimana hal itu tidak proporsional dengan tingkat kecerdasan dan pendidikannya, dia menjawab: “Manusia di zaman purba berpenampilan hampir telanjang, dan ketika intelektual berkembang, ia mulai menggunakan pakaian. Bagaimana saya saat ini, dan apa yang saya pakai merupakan tingkat tertinggi pemikiran dan peradaban yang sudah dicapai manusia, dan bukan kemunduran. Melepas pakaian lagi adalah kemunduran yang akan membawa kita ke masa lampau”. Dibagian akhir tulisan ini, sekarang bagian Anda untuk berpendapat tentang apa yang akan Anda lakukan selanjutnya. Semoga Allah memudahkan kita semua. Amien

Mahasiswa Thailand: Beauty, Sexuality and Fashion

Keunikan budaya sebuah bangsa umumnya dapat dilihat dari bagaimana cara berpakaian mereka didepan umum.  Hal inilah yang kami temukan di Bangkok menyusuri sudut-sudut kota ini. Aturan tentang penggunaan seragam pada mahasiswa di masing-masing universitas. Terlebih dalam cara berpakaian warga atau dalam hal ini siswa Bangkok sangat jauh berbeda dengan dinegeri kita.

IMG-20140701-01384

1404202863579

Persoalan “minimalisme” berpakaian sungguh merupakan hal lain yang tentu kurang bijak untuk diperdebatkan. Misalnya; seberapa pendek rok yang dipakai para mahasiswi, bagaimana mereka berpenampilan disaat berseragam adalah hal subyektif yang merupakan pilihan pribadi. Akan tetapi argumentasi mengapa Thailand memandang bahwa seorang mahasiswa masih membutuhkan pakaian seragam adalah hal yang perlu digali lebih dalam. Terlebih sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dunia barat dan bahkan di Indonesia

Melalui pengamatan dan beberapa sumber bacaan setidaknya ada beberapa alasan mengapa mahasiswa Thailand harus memakai seragam.

Ternyata alasan pertama, adalah semua mahasiswa Thailand mencintai seragam siswa. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Suan Dusit pada 14-17 September tahun 2013 menunjukkan bahwa 94,4% dari 1.293 mahasiswa Bangkok berpikir bahwa seragam mereka “diperlukan” untuk menjaga ketertiban dan identitas mereka; 70,96% berpikir mereka harus menghadiri kelas dengan mengenakan seragam.

Alasan kedua, adalah seragam mempromosikan kesetaraan sosial di kalangan siswa. Saya yakin sebagian besar mahasiswa Thailand tidak pernah berpikir tentang kelas sosial yang berbeda antara rekan-rekan mereka saat mereka menggunakan seragam. Secara psikologis, ketimpangan tentu akan melintasi pikiran Anda, bahkan jika salah satu teman sekelas Anda mengendarai BMW ke kampus atau turun oleh sopir keluarga dalam serangkaian Benz S-class, sedang Anda mengambil bus non-AC. Padahal tidak selayaknya mahasiswa berfikir tentang hal tersebut, tetapi membangun persahabatan tanpa memandang perbedaan kelas.

Alasan ketiga, Seragam mengajarkan mahasiswa tentang disiplin, tugas, tradisi, menghargai dan menghormati. Itu mungkin terdengar dan diharapkan dari pakaian putih dan hitam yang sederhana, tetapi memiliki kedalaman dan keluasan makna. Belajar untuk berpakaian sama dengan mengajarkan disiplin (berpikir versi kompleks). Sebuah rasa kewajiban ditanamkan dalam mengapresiasi bahwa meskipun pada beberapa hari Anda mungkin tidak merasa seperti mengenakan pakaian yang sama seperti orang lain, itu tugas Anda untuk melakukannya (seperti memakai pakaian kerja dan sepatu bukan hanya celana pendek dan sandal jepit untuk pergi untuk bekerja).Akan tetapi melalui seragam pewarisan tradisi telah dibelajarkan oleh orang yang lahir sebelum mahasiswa ini, dan sekaligus penghormatan mereka terhadap institusi saat mengenakan seragam mahasiswa. Mereka percaya bahwa dengan seragam maka akan terbangun kebanggaan terhadap tradisi dan institusi, sekaligus kesopanan serta rasa rendah hati.

Alasan keempat, Seragam mengingatkan mahasiswa Thailand identitas nasional yang membedakan peran mereka dengan komponen profesi lain yang ada di negaranya. Mengingatkan mereka pada peran utama mereka diantara profesi-profesi lain yang ada di Thailand. Pikirkan betapa mudahnya untuk menjadi bingung dan lupa siapa diri Anda ketika semua jenis orang di negara Anda juga memakai seragam: polisi, perwira militer, perawat, pegawai Bank,pekerja kantor, penjaga keamanan, cleaning wanita kantor, pilot, pramugari , pelayan dan pelayan, kolektor ongkos bus, sopir taksi atau profesi-profesi lain yang berseragam. Meski secara warna para mahasiswa ini hampir tidak bisa dibedakan dengan pegawai baru yang sedang magang, tetapi keberadaan hiasan seperti untuk pin universitas dan ikat pinggang, dan dalam beberapa kasus seperti dasi, dan sebagainya membangun ciri tersendiri.

IMG-20140701-01379

Alasan kelima, Seragam mengingatkan mahasiswa Thailand akan identitas nasional mereka yang unik dan turun temurun.

Melangkahkan Kaki Di Sudut Kota Bangkok

Menegangkan sekaligus mengasyikkan disaat kami harus menjalani hari kedua dikota Bangkok. Selain karena masih belum familiar dengan jalan-jalan disana, penyebab yang lain adalah penggunaan “huruf Thai” untuk nama pertokoan, jalan hingga rambu-rambu lalu lintas. Melalui bantuan pihak Universitas Suandusit Rajabath siang itu kami diantarkan ke sebuah mal bernama T-SQUARE Tang Huang Seng. Untuk sekedar membeli peralatan dan kelengkapan memasak lain yang rencananya kami gunakan selama 2 bulan.

IMG-20140701-01393

Meski pada rambu-rambu yang lain menggunakan gabungan antara huruf Thai dan huruf latin. Namun hal menarik selain rambu-rambu adalah kondisi lalu lintas jalan raya yang siang itu sangat lancar. Tidak terlihat penumpukan kendaraan disiang itu, sehingga semua kendaraan dapat berlalu lalang dengan mudahnya.

IMG-20140701-01377

Akan tetapi insiatif untuk menyeberang jalan disiang itu kami batalkan karena tidak ada warga yang menyeberang sembarangan. Sungguh pembuktian tentang kedisiplinan berlalu lintas warga Thailand.

Pendidikan Ekonomi dan Humanisme Pancasila

BPUN Jombang

Setengah abad yang lalu Presiden Sukarno mengemukakan visi tentang masa depan seluruh bangsa di dunia senantiasa menghadapi gelombang besar peradaban yang tidak terhindarkan. Sehubungan dengan itu diperlukan interpretasi kembali (reinterpretation) terhadap nilai inti atau pandangan hidup (way of life) kita untuk mengantisipasi tuntutan zaman. Berikut ini petikan pidato beliau pada 1 September 1961 di hadapan Konferensi Negara-negara Nonblok I di Beograd:

“Kita hidup dalam masa yang gegap-gempita, suatu masa yang penuh dengan bahaya. Keadaan ditimbuni dengan kesulitan-kesulitan, namun kita tidak boleh melarikan diri dari kesulitan-kesulitan ini, kita harus mengatasi keadaan itu. Akan tetapi dogma-dogma dari masa lampau yang tenang tidak setara dengan masa sekarang yang membadai. Karena peristiwa kita baru, maka kita harus berpikir kembali, kita harus bertindak kembali, kita harus membentuk kembali, kita harus membentuk lagi kembali. …” (Sukarno, 1985: 104).  

Betapa perlunya setiap negara-bangsa mengantisipasi gelombang perubahan zaman menuju tata hubungan dunia baru…

View original post 1,748 more words

Membangun Perilaku Konsumsi Berkelanjutan

peringatan-hari-lingkungan-hidup-Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam tanpa upaya reklamasi mengakibatkan hilangnya  ribuan  spesies  di  bumi.  Analisis International  Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (The Red List IUCN, 2010) mengingatkan ada 15.589 spesies binatang dan tumbuhan terancam punah. Sudah  ada  844 mengalami kepunahan sejak tahun 1500; 129 catatan mengenai kepunahan  spesies  burung,  103  diantaranya  terjadi  sejak tahun 1800. Selain itu, laju kepunahan telah mencapai angka 100 hingga 1.000 kali dari laju kepunahan alami.  Spesies  hewan  yang  terancam  punah  meningkat  dari  angka  5.204  jenis menjadi  7.266  jenis  sejak  tahun  1996.  Sedangkan  untuk  jenis  tumbuhan  dan lumut,  ada  8.323  jenis  yang  nyaris  punah  dari  angka sekitar  3.000  jenis sebelumnya.

 Arus globalisasi, modernisme, dan perkembangan teknologi dan tingginya intentitas kegiatan manusia di muka bumi telah menimbulkan banyak dampak destruktif terhadap jejaring kehidupan manusia dan ekosistem. Di Indonesia, dari 6978 spesies tanaman endemik, 174 spesies di antaranya terancam punah. Laju  deforestasiyang pesat (dari 1,6 juta ha dekade 1985–1997 menjadi  2,1  juta  ha  pada  dekade  1997–2001) melalui tingginya alih fungsi kawasan hutan menjadi  pemukiman, perindustrian, perkebunan dan pertambangan,  pembalakan  hutan  (illegal logging), dan kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat menyebabkan jutaan plasmk nutfah musnah.

 Selain itu, sebuah laporan dari Wahana Lingkungan Hidup  Indonesia (WALHI)  mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 10%  hutan  tropis  dunia yang masih tersisa. WALHI juga mengutip World Resource Institute (1997) yang menyatakan  luas  hutan  alam  asli  Indonesia  menyusut  dengan  kecepatan  yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Berdasarkan  extra  landsat  tahun  2000  terdapat  101,73  juta  ha  hutan  dan  lahan Indonesia yang rusak adalah 59,62 juta ha di antaranya berada di kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).

 Merespon kondisi ini UNESCO mencanangkan pendidikan untuk masa depan yang Berkelanjutan (education for sustainable development) pada World Summit di Johannesburg, September 2002. Adapun tujuannya adalah “to empower people with the perspectives, knowledge, and skills for helping them live in peaceful sustainable societies. untuk memberdayakan masyarakat dengan perspektif, pengetahuan, dan keterampilan untuk membantu mereka hidup dalam masyarakat yang berkelanjutan damai (UNESCO, 2001, p. 1).

Pendidikan Indonesia mengadaptasi konsep ini di dalam UU No. 20 Sisdiknas Tahun 2003, dijabarkan dalam PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta diaplikasikan melalui Panduan Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22 Tahun 2006, serta 7 standar pendidikan lainnya. ESD dalam kurikulum Indonesia mengamanatkan bahwa institusi pendidikan “wajib” mewujudkan pembelajaran berbobot yang menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme generasi masa depan agar bertanggung jawab dalam melestarikan sumber daya alam.  Dan dalam Kurikulum 2013 menempatkan kepedulian lingkungan sebagai kompetensi inti (KI 2) yang harus diimplementasi dalam pembelajaran secara vertikal dan horizontal. Dengan demikian sekolah dapat menjadi wahana dan sistem yang nyaman dan dinamis bagi siswa untuk megembangankan good knowing, good filling, dan good acting tentang lingkungan hidup.

Persoalan lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, namun sangat terkait oleh perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Perubahan perilaku melalui gaya hidup tentu saja merubah pola ekstraksi sumber daya alam dan energy yang ada. Manusia didorong untuk tidak menggunakan sumberdaya alam secara tidak berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) sebesar 0,57 (dari angka mutlak adalah 1), hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Perilaku konsumsi masyarakat saat ini adalah pemenuhan kebutuhan 49,3% bahan makanan  yang berasal dari import luar negeri. Kondisi ini tentunya akan memberikan dampak bagi lingkungan seperti meningkatnya emisi dari transportasi makanan tersebut dari daerah asal ketempat tujuan.

 Data juga menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat terhadap daging merah mencapai 77%, sedangkan konsumsi ayam lebih banyak lagi yaitu 91%. Sementara itu masyarakat yang mengkonsumsi makanan dari (produk lokal hanya 36,4%) konsumsi beras mencapai 150 kg pertahun. Adapun sisa sampah organik terutama makanan hanya 2.2% yang dikomposkan selebihnya dibuang dan menjadi beban pencemaran lingkungan.

Padahal terdapat kecenderungan perubahan pola konsumsi menuju pola konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption), khususnya dalam penggunaan kemasan. Konsumsi yang berkelanjutan merupakan penggunaan produk dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memperbaiki kualitas hidup manusia dengan mempertimbangkan pengurangan penggunaan bahan mentah yang berlebihan, minimasi penggunaan bahan beracun dan sampah dan tetap memperhatikan kebutuhan generasi selanjutnya (OECD, 1999, h.11).

 Perubahan pola konsumsi menuju pola yang berkelanjutan merupakan sebuah tindakan suka rela ataupun normatif yang didasarkan pada perhatian akan perubahan lingkungan yang semakin memburuk. Dalam Simposium di Oslo mengenai pola konsumsi yang berkelanjutan pada tahun 1994, banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah negara-negara maju maupun perubahan gaya hidup di masyarakat modern.

 Perubahan Perilaku dan Peran Penting Pendidikan

Salah satu contoh tindakan yang dilakukan oleh banyak negara maju di Eropa adalah tindak pengurangan secara signifikan penggunaan kantung plastik belanja. Banyak negara Eropa menginstruksikan supermarket-supermarket untuk tidak memberi kantung pastik atau meminta konsumen untuk tidak membeli kantung plastik. Selanjutnya, supermarket menganjurkan pembeli untuk membeli tas belanja yang dapat digunakan ulang. Kantung plastik merupakan limbah atau sampah yang mencemaskan. Selain sulit didaur ulang, kantung plastic sangat sulit diuraikan oleh tanah. Berbagai penelitian dan kampanye telah menunjukkan dampak-dampak negatif kantung plastik bagi keanekaragaman hayati, kesehatan manusia, maupun kebersihan lingkungan.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka pendidikan dapat menjadi salah satu cara merubah sikap dan perilaku masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan pendidikan memberikan dampak pada bertambahnya pengetahuan dan keterampilan serta akan menolong dalam pembentukan sikap yang positif (Johosua Doda, 1989: 196). Hal yang hampir senada juga disampaikan Kneller (Sumitro dkk, 2006: 16-17) bahwa pendidikan memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan suatu tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangan jiwa, watak, atau kemampuan fisik mereka melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi.

Sehingga dalam pembentukan perilaku konsumsi dengan mempedulikan lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, peran pendidikan lingkungan hidup dan pendidikan ekonomi menjadi sangat penting. Pengetahuan lingkungan seorang individu akan mempengaruhi respon afektif secara positif yang mengarahkan pada respon konatif, yaitu perilaku yang bertanggung jawab sosial (Chan, 2001). Pendidikan lingkungan hidup sesuai kurikulum 2013, adalah program pendidikan untuk membina anak didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab terhadap alam dan terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan ekonomi sebagai ilmu yang dekat dengan aktifitas pengambilan keputusan dan penentuan pemilihan untuk pemenuhan kebutuhan seseorang pada berbagai kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertambah dan berubah serta harus dipenuhi tetapi dihadapkan pada permasalahan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

The International Federation of Home Economics mengidentifikasi tujuan akhir ilmu ekonomi sebagai “peningkatan kualitas kehidupan sehari-hari bagi individu, keluarga dan rumah tangga melalui pengelolaan sumber daya mereka”. Istilah kualitas hidup terkait dengan pola pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan pokok manusia terdiri atas kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja. Kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan yang berpengaruh kepada kualitas hidup manusia, diantaranya: membuang sampah tidak pada tempatnya, meluasnya lahan kritis dan kerusakan hutan, kelangkaan air bersih, terjadi banjir dan tanah longsor, pembuangan limbah pabrik ke sungai, serta berbagai kerusakan lingkungan lainnya.

Oleh Eleanor Vaines (1994) hal ini mengharuskan ilmu ekonomi untuk memiliki cara pandang ekologi daripada “mekanistik” (menganggap orang-orang bekerja seperti mesin dan bumi yang akan digunakan untuk itu). Ilmu ekonomi harus melihat diri mereka sebagai bagian dari atau “dalam” lingkungan, bahwa kehidupan kita dan jangka panjang kesejahteraannya sangat terkait erat dengan kehidupan dan kesejahteraan seluruh planet (tumbuhan dan hewan) baik dimasa lalu, sekarang dan masa depan. Untuk itu dalam penentuan pengambilan keputusan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan diperlukan pengetahuan ekonomi atau economy literacy yang dapat diperoleh melalui pendidikan ekonomi dalam keluarga maupun pendidikan ekonomi di sekolah agar keputusan yang ditetapkan rasional, efisien dan mempunyai nilai manfaat.

Pendidikan kejuruan di SMK dikembangkan untuk menyiapkan dan/atau meningkatkan kualifikasi sumber daya manusia sebagai tenaga kerja  terlatih memasuki dunia  kerja yang menguntungkan bagi dirinya. Orientasi pengembangan pendidikan kejuruan akan diarahkan kepada  program-program keahlian yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, sikap kerja, pengalaman, wawasan, cara-cara berfikir kritis, kemampuan berkomunikasi efektif baik secara oral dan tertulis, berjiwa entrepreneurship, mampu mengakses dan menganalisis informasi, memiliki rasa ingin tahu dan mampu berimajinasi, serta memiliki jaringan yang dapat membantu diri siswa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihannya. Yang dicari dan dipilih oleh siswa pendidikan kejuruan adalah program keahlian yang memiliki prospek karir yang baik dan menguntungkan dimasa depan (Smith-Hughes: 1917; Thompson: 1973; Gill, Dar, & Fluitman: 2000; Dedi Supriadi:2002).

Mempersiapkan Generasi Masa Depan

Di tingkat global, tuntutan agar diterapkannya standar industri yang menitikberatkan pada upaya efisiensi bahan baku, air dan energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi rendah karbon dengan sasaran peningkatan produktivitas dan minimalisasi limbah semakin tinggi. Hingga pada bulan September 2009 bersama 20 negara Asia lainnya, Indonesia menandatangani Manila Declaration on Green Industry di Filipina. Dalam deklarasi ini, Indonesia menyatakan tekad untuk menetapkan kebijakan, kerangka peraturan dan kelembagaan yang mendorong pergeseran ke arah industri yang efisien dan rendah karbon atau dikenal dengan istilah industri hijau. Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat.

Proses produksi dalam berbagai sektor usaha dan industri di Indonesia sebagian besar dikerjakan oleh tenaga kerja yang dihasilkan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Untuk itu, sistem pendidikan SMK harus dapat mewujudkan kebutuhan tenaga kerja tingkat menengah yang mempunyai sikap serta perilaku adaptif, berjiwa kreatif dan professional sesuai bidangnya. Oleh sebab itu baik pendidikan lingkungan hidup maupun pendidikan ekonomi di sekolah harus pula menyertai kemampuan spesialisasinya. Siswa terbiasa bersikap kritis dan tanggap terhadap isu-isu lingkungan yang terjadi di sekelilingnya, baik dalam sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari, di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Terlebih, menurut kajian psikologi, siswa SMK adalah siswa usia remaja. Perkembangan periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa–masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu (Irwanto, 2002: 46). Sehingga keberadaan pendidikan ekonomi dan pendidikan lingkungan hidup di SMK menjadi penting untuk membentuk perilaku konsumsi yang berkelanjutan (Sustainable Consumption). Dari segi konsumen, konsumsi berkelanjutan adalah kesadaran konsumen untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan yang dibutuhkannya dan menjamin pemenuhan kebutuhannya itu tidak membahayakan lingkungan. Dari segi produsen, konsumsi berkelanjutan yaitu pemenuhan layanan jasa dan barang yang terkait dengan kebutuhan pokok yang meningkatkan kualitas hidup dengan tidak menggunakan bahan berbahaya seperti emisi limbah dan polutan.

Mengembangkan Harga Diri Siswa di Sekolah

“Everybody is a GENIUS. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is STUPID.” (Albert Einstein)

Einstein bukanlah seorang yang pandai disaat ia masih duduk dibangku sekolah, demikian pula Issac Newton. Keduanya sama-sama menjadi bahan ejekan hingga tertawaan siswa-siswa seusianya lantaran memperoleh nilai yang jelek disuatu ulangan harian untuk suatu mata pelajaran. Tetapi, kemudian hari ini dunia mengenal mereka sebagai seorang ilmuwan besar yang pemikiran dan postulatnya menjadi rujukan banyak akademisi diseluruh belahan dunia. Tentu disini terdapat kesenjangan antara pencapaian nilai disaat sekolah dengan keberhasilan pasca dewasa, atau ada diantara kita yang dengan tegas dapat menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan dalam dua hal tersebut.

Sejauh ini diakui atau tidak, sering kita begitu bangga pada pencapaian atas dasar nilai yang diberikan oleh orang lain. Sejak kecil, begitu pulang sekolah, ibu kadang bertanya, “Berapa nilai yang kamu dapat hari ini?” Jarang ada yang bertanya, “Apa yang kamu pelajari hari ini?”

Pencapaian kuantitatif itu membuat sang siswa berpikir bahwa bila nilainya bagus, ibunya akan senang. Bila nilainya bagus, ia berarti pintar. Maka logika menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus itu menjadi wajar. Hasilnya, budaya menyontek merajalela dan ketika kunci-kunci jawaban disebarkan itu adalah sebuah bentuk pembenaran yang sah.

Seorang teman Kompasianer sempat menulis, kenangannya dimasa-masa SMP ketika hasil ujian dibagikan, dan pernah mendapatkan nilai 3,30 untuk nilai IPA, dan dengan usaha akhirnya saya mendapat nilai 6,30 di caturwulan berikutnya. Rasa mendapatkan nilai 6 dengan kemampuan sendiri sudah cukup membanggakan saat itu. barangkali kalau diterjemahkan ke dalam keadaan sekarang, nilai 6 sudah begitu hina. Dahulu nilai 8 yang termasuk amat sakral itu, kini sudah turut hina pula. Ini terbukti dikala ujian nasional SMA, saya hanya mendapatkan nilai 8,67 dan itu menjadi nilai terendah nomor dua di kelas selain seorang gadis berjilbab lebar yang menjunjung tinggi kejujuran mendapat nilai 6,00 sedang lainnya 9,3 ke atas meski dengan modal kunci jawaban dari guru.

Guru, Sekolah dan Konteks Kekinian

Melihat fakta ini saya sebagai guru sungguh tidak tahu apa yang dibanggakan dari nilai 9,3 palsu itu, sebab ketika SNMPTN datang mereka berguguran satu per satu. Dalam keadaan ini mau tidak mau kita telah menemukan bahwa siswa telah mengalami diorientasi tentang nilai yang seharusnya diperolehnya dengan kejujuran. Padahal dalam pendidikan karakter bagi guru maupun sekolah harus mampu membentuk karakter siswa dengan penanaman nilai-nilai sikap yang baik. Oleh karenanya, pola pikir instan yang berarti menghalalkan segalanya untuk mencapai apa yang dicitakan adalah sesuatu yang salah dan tidak boleh hadir dalam kehidupan sekolah.

Dunia datar yang dinyatakan oleh Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat merupakan interpretasi dari keadaan dunia yang mengglobal, yang dalam percakapannya dengan Nandan Nilekani menyatakan: “…global ekonomic playing field is being levelled”. Lebih jauh dimaknai dengan ’…the playing field is being levelled, …the world is being flattend’ . Globalisasi meratakan dunia dalam berbagai sektor kehidupan, dalam arti bahwa globalisasi telah meratakan lapangan bermain kompetitif antara negara industri dan negara berkembang.  Khususnya pengembangan sumber daya manusia India sudah menjadi rata dengan Amerika. Jika pada saat Colombus menjelajah Atlantik, orang India diasumsikan sebagai tenaga kerja murah dalam artian perbudakan, maka saat ini orang India menduduki jabatan penting dalam perusahaan multinasional.

Friedman menyatakan bahwa dunia menuntut tiga hal perubahan untuk dapat bertahan dan berkembang. Pertama adalah kesediaan untuk membagi pengetahuan dan pekerjaan. Kolaborasi pekerjaan tidak lagi mengenal jarak dan perbedaan-perbedaan lainnya.  Hal yang kedua adalah inovasi dan adaptasi, dan yang ketiga adalah keterbukaan terhadap pertumbuhan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya, khususnya dari  negara-negara berkembang. Amerika menginvestasikan pengembangan komputer di India karena karakter yang diharapkan memenuhi kriteria mereka.

Tony Wagner dalam Education Gap (2011) mengingatkan kita semua tentang 7 (tujuh) kemampuan yang harus dimiliki siswa dimasa depan, yaitu: Terampil berpikir kritis dan memecahkan masalah, Kolaborasi berbasis jaringan dan mengembangkan kemapuan memimpin yang berpengaruh, Mampu mengubah arah dan bergerak secara cepat dan efektif dan beradaptasi, Memiliki daya inisiatif dan berkewirausahaan, Bicara dan menulis secara efektif, Mengakses dan menganalisis informasi, dan Bersikap selalu ingin tahu dan berimajinasi.

Dalam tulisan tersebut Tony Wagner mengajak para guru untuk tidak melupakan peran pentingnya dalam menanamkan nilai kepada siswa. Hal ini dimulai dengan menjadikan guru sebagai contoh yang baik (rule of models) disini guru berfungsi sebagai “modeling” sikap bagi siswa. Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan ruang pengembangan minat dan bakat siswa seluas-luasnya. Guru dituntut untuk dapat berperan sebagai fasilitator sekaligus memonitoring penerapan nilai oleh siswa. Peran ini dikenal dengan istilah habituasi yang berarti pembiasaan dalam sikap dan perilaku. Apabila pembiasaan telah dilakukan maka pemeliharaan kebiasaan yang baik menjadi penting untuk dilakukan. Untuk itu peran guru sebagai agen “reinforcement nilai” menjadi peran terkhir yang tidak boleh tertinggal.

Apa yang digambarkan oleh Friedman juga sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Tony Wagner dalam bukunya The Global Achievement Gap tentang sistem pendidikan yang memerlukan perubahan dan inovasi.  Siswa tidak hanya dipersiapkan mampu mengerjakan soal, akan tetapi harus inovatif mengikuti perkembangan teknologi. Perancangan kurikulum pendidikan tidak lagi sebatas menguasai ketrampilan dan pengetahuan yang diajarkan oleh guru, akan tetapi harus dirancang sedemikian rupa sehingga kurikulum yang ada membangun karakter siswa mampu mengantisipasi kejadian masa datang. Pendidikan yang diajarkan oleh guru yang belajar di masa lampau haruslah visioner merancang kurikulum pendidikan manusia yang akan hidup dengan segala tantangan pada masa yang akan datang.

Mencermati peran guru tersebut mungkin kebanyakan kita akan bersikap pesimistis, namun sekolah sebagai gerbang pertama tempat kita melahir kader pemimpin bangsa masa depan tidak boleh menyerah. Viktor Frankl, seorang tawanan di dalam kamp konsentrasi selama Perang Dunia kedua, pernah berkata “Kami yang hidup dalam kamp konsentrasi bisa mengingat orang-orang yang berjalan dari barak ke barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti mereka yang terakhir. Jumlah mereka boleh jadi sedikit; tetapi itu cukup membuktikan  bahwa segalanya bisa dirampas dari seorang manusia kecuali satu hal: kebebasan manusiawi yang terakhir – memilih sikap kita dalam setiap situasi yang bagaimana pun, memilih cara kita sendiri.”  (Man’s Search for Meaning). Pilihan proaktif dari sikap kita adalah “kebebasan manusiawi yang terakhir”. Itulah! Kebebasan menentukan pilihan! Oleh kebebasan manusiawi yang terakhir itu pulalah, Viktor Frankl berhasil menciptakan teori psikologinya: “Logoterapi”. Sebagai guru bagaimana kita bersikap terhadap keadaan yang terkesan tidak ideal menjadi tolok ukur keberhasilan kita, tidak terkecuali apa yang sudah kita bahas diawal tulisan ini.

Berfikir Out of The Box

Bersyukurlah untuk segala yang kau miliki. Jadilah kreatif. Jadilah inovatif. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda dan positif. Keluar dari “kotak” dan cobalah untuk melihat dari sudut pandang yang tidak biasa. Hal ini merupakan langkah pertama seorang guru untuk memulai perubahan. Guru harusmengingat kembali bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai pendidikan pastilah memiliki siswa dengan kemampuan yang serba bisa dan mandiri. Namun, salah satu syarat untuk memiliki siswa yang percaya diri dan bisa melakukan berbagai hal positif adalah adanya keyakinan dan kemauan siswa untuk mampu melakukan apa pun.

Harga diri atau biasa dikenal dengan istilah self-esteem, berarti bicara mengenai satu aspek dalam konsep diri yang menentukan akan berkembang menjadi individu seperti apakah siswa-siswa kita kelak. Self-esteem atau harga diri adalah penilaian seorang siswa tentang bagaimana dirinya di mata orang lain. Dalam beberapa literatur, juga digunakan istilah self-perception yang merupakan kumpulan dari keyakinan dan perasaan yang siswa miliki terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini sangat berpengaruh pada perkembangan emosi, perilaku dan penyesuaian diri siswa di lingkungan sosial. Oleh karenanya ada beberapa pendapat yang mengklasifikasikan harga diri dalam dua hal, harga diri sehat dan tidak sehat.

Harga diri yang sehat dapat menjadi kekuatan bagi siswa untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya. Siswa berpandangan positif tentang dirinya akan mudah mengatasi konflik dan tidak mudah tepengaruh oleh hal-hal negatif. Mereka akan tumbuh menjadi individu yang optimis. Di sisi lain, siswa-siswa yang berpandangan negatif atau rendah pada diri mereka sendiri akan menemui rintangan dalam mengatasi masalah, menjadi pasif, menarik diri, mudah frustrasi dan tidak bahagia. Ketika dihadapkan tantangan, mereka mudah sekali untuk bilang ”tidak bisa”. Namun siswa yang terlalau memandang tinggi dirinya juga tidak berdampak baik. Mereka akan cenderung merasa paling baik, tidak mau dikalahkan dan meremehkan orang lain. Siswa semacam ini akan sulit untuk menerima kekalahan dan sulit beradaptasi yang membatasi keleluasaannya. Jadi harga diri yang sehat adalah harga diri yang dapat membekali siswa untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan dimana pun dia berada, tidak kurang atau berlebihan.

Suatu penelitian mengungkapkan bahwa siswa mendasari harga diri mereka pada dua hal, yaitu penerimaan (sejauh mana lingkungan khususnya orangtua menerima mereka apa adanya) dan kompetensi diri seperti ”Aku pandai” atau ”aku bisa lari kencang” (Verna Hildebrand dalam buku Guiding Young Children). Penelitian ini juga menemukan bahwa kebanyakan siswa yang punya harga diri positif ternyata memiliki orangtua dengan karakteristik yang sama, yaitu juga punya harga diri yang positif tentang diri mereka sebagai orangtua. Bahkan dari hasil penelitian di Amerika Serikat diperkirakan antara 15 – 50 persen anak berbakat berprestasi kurang (underachiever).  Pertanyaannya adalah “mengapa anak berprestasi di bawah kemampuannya?”

Banyak teori untuk menjelaskan kenapa anak berprestasi di bawah potensinya (uncerachiever).  Menurut Utami Munandar (2004), salah satu penyebabnya adalah latar belakang seorang, yang menyangkut rasa harga diri yang rendah.   Rasa harga diri yang rendah adalah ketidakpercayaan atas kemampuan yang dimiliki.  Mereka tidak percaya bahwa mereka mampu melakukan apa yang diharapkan orang tua dan guru dari mereka.  Untuk menutupi rasa harga diri mereka, biasanya dengan perilaku berani dan menentang atau dengan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri.  Misalnya dengan menyalahkan sekolah atau guru atau dengan menyatakan tidak peduli atau tidak berusaha dengan sungguh-sungguh jika prestasi mereka kurang memuaskan. Sering kita mendengar anak mengatakan “matematika memang susah”, hal ini karena berkaitan dengan rasa harga diri yang rendah sehingga untuk menutupi kegagalan mereka menyalahkan pelajaran matematika atau gurunya.  Menyalahkan pelajaran atau guru merupakan mekanisme anak untuk menghindari tanggung jawab untuk berprestasi.

Meski dalam penelitian tersebut terkesan peran dominan orang tua dalam membentuk harga diri siswa, namun dalam konteks pembelajaran disekolah guru memiliki peran dalam beberapa hal dasar. Peran ini meliputi; menemukan kemampuan unik siswa, mengapresiasi prestasi dan hasil kerja keras mereka, berfokus pada tindakan bukan penampilan, memuji siswa dengan spesifik dan tonjolkan sisi positif mereka, dan menghindari selalu membantu mereka dalam memecahkan masalahnya serta belajar dari kesalahan.

Proyek Rasa Ingin Tahu

boss-curious-homework-istockphotoSetelah menjadi guru, akhirnya sampai juga sebuah kesadaran baru, bahwa jarang dari kita menyadari bahwa sekolah tidak selalu begitu ramah untuk bertanya tentang ide atau pemikiran. Entah itu berasal dari guru ataupun dari siswa, terlebih apabila pemikiran itu tidak lazim. Untuk sesuatu sebut saja yang tidak umum, siswa yang memiliki rasa ingin tahu dan lebih sering bertanya. Beberapa dari kita akan lebih mudah menyebutnya “anak cerewet” dan bahkan untuk anak-anak yang terkategori lambat belajar akan lebih mudah untuk menyebutnya bodoh. Entah mengapa pra guru menjadi sangat sulit untuk bersabar, meluangkan waktu sekejap memahami. Sedangkan untuk anak-anak yang pendiam dan penurut hampir semuanya menyukai dan dengan mudah menyebutnya “anak yang baik”. Padahal apakah dengan semudah itu kita dapat mengetahui karakter dan potensi seorang anak dan begitu mudah bagi seorang anak untuk mendapatkan predikat tertentu.

Seharusnya kita mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi pada diri Thomas Alva Edison. Ilmuwan dengan hak paten terbanyak yang pernah hadir di dunia ini dengan tidak berlatar belakang sekolah formal. Disebutkan di beberapa literatur, bahwa alasan pemicu dikeluarkannya Edison karena tingkah lakunya yang nakal, karena terlalu banyak bertanya. Dan oleh para gurunya hal tersebut dianggap sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dan menganggapnya bodoh serta nakal. Namun, meski tidak memiliki guru di sekolah formal tetapi ia memiliki orang tua yang mampu melihat hal tersebut sebagai potensi besar. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan ‘bodoh’ seperti, “apakah lampu ini bisa menyala dengan kumis?”, “bagaimana dengan jenggot?”, “bagaimana dengan korek api?” dan seterusnya, hingga akhirnya dia menemukan bahan yang paling tepat, yaitu wolfram dan terciptalah lampu bohlam.

Seandainya Edison tidak bertanya-tanya seperti itu, mungkin kita sekarang masih hidup di dalam kegelapan. Seandainya Einstein tidak pernah memiliki rasa penasaran yang besar, mungkin tidak akan banyak perkembangan di dalam ilmu fisika dan kimia. Seandainya Newton tidak pernah bertanya mengapa sebuah apel bisa terjatuh, mungkin kita sekarang tidak akan pernah tahu apa itu gravitasi. Pemikiran-pemikiran yang paling hebat datang dari rasa ingin tahu.

Hapus Dikotomi

Hal lain yang lazim kita jumpai ditiap sekolah adalah dikotomi IPA dan IPS. Miris rasanya ketika mendengar seorang siswa berkata “Aku takut tidak bisa masuk IPA. Apa kata dunia ! Pola pikir dan pengaruh kuat lingkungan akan “lebih hebatnya” jurusan IPA sungguh sebuah bencana pendidikan yang luar biasa besar. Dikotomi ini membuat siswa yang berhasil masuk di kelas IPA terlihat sebagai pemenang dan lebih pintar, sementara yang tersisa untuk menjadi penghuni kelas IPS adalah kumpulan pecundang dan anak-anak bodoh yang bermasalah. Padahal dengan tidak sengaja pendidikan kita telah mengarah pada praktek bullying, atau kekerasan verbal dan psikis dalam pendidikan.

Sebuah pembuktian atas fenomena yang mengemuka di Indonesia seperti, perilaku yang tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan menurunnya penghargaan terhadap orang lain. Hingga pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, tipis toleransi, kurang menghargai orang lain, dan menganut budaya kekerasan. Pusat-pusat pendidikan seperti keluarga, masyarakat, sekolah dan bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan (missing) antara lain (Suyata, 2000): sense of identity, sense of humanity, sense of community, sense of culture (values) dan sense of respect.

Pendidikan telah mencerminkan fragmentasi kehidupan dan kurikuler, kompetisi individual, berkembangnya materialism, dan ketidak pedulian pada orang lain, terhambatnya kreatifitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi dan keberanian mengambil resiko. Kebebasan individual seakan terpasung oleh tujuan pendidikan yang cenderung kognitif sentris, sehingga meminggirkan pengembangan aspek afektif seperti moral dan budi pekerti.

Padahal dalam tujuan pendidikan nasional, tertulis jelas bahwa prioritas pendidikan adalah “promote respect for self and other”. Oleh sebab itu sekolah harus mampu menjadi ruang kondusif berseminya benih-benih perdamaian. Dan sebentuk keteladanan para guru tentang nilai-nilai moral, yang menurut Lickona (1991:53) meliputi (1) sikap menghargai dan tanggung jawab, (2) kerjasama, suka menology, keteguhan hati, komitmen (3) kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong, (4) kejujuran, integritas, (5) berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi, (6) rasa bangga, ketekunan dan (7) toleransi, kepedulian.

Ke depan kita perlu berkomitmen untuk melepas semua atribut label yang kita berikan ke anak didik kita. Menurut teori, labelling adalah pelabelan atau pemberian cap terhadap suatu individu di masyarakat yang mempunyai sifat atau kebiasaan yang dianggap minoritas oleh suatu masyarakat tersebut. Hal ini perlu dihidari, sebab, seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang diberikan kepadanya.

Memaknai sebuah perjumpaan

Tidaklah salah untuk menjumpai para guru untuk marah-marah di sekolah ataupun dikelas saat pembelajaran berlangsung. Marah itu sebenarnya tidak begitu menjadi persoalan, namun bagaimana rasa marah itu diekspresikan itu yang lebih berbahaya. Disebut berbahaya bila bentuk kemarahan adalah bullying. Terlebih lagi, bullying yang terwujud dalam kata-kata yang melecehkan atau merendahkan.Kata-kata itu sendiri tidak berbahaya bila tidak disertai labelling sebab krisis identitas biasanya bermula dari labelling.

Pendekatan Six Thinking Logic dari Robert Dilt (Pakar NLP) menyatakan, ada 6 logika berpikir yang saling memengaruhi, berturut-turut dari level tertinggi ke terendah adalah: Purpose, Identity, Values and Belief, Capability, Behavior, dan terakhir Environment. Semakin  tinggi maka makin kuat pengaruhnya terhadap orang yang di bawahnya. Ini berarti Identity akan berdampak pada Values and Belief, Capability, Behavior, dan terakhir berdampak pada Environment.Masuk akal bila seseorang merasa dirinya bodoh (Identity) maka perilaku dan kemampuannya akan merefleksikan kebodohannya. Pada akhirnya, yang bersangkutan akan semakin tidak yakin bahwa mereka sebenarnya pintar.

Perjumpaan dengan anak-anak didik yang unik harus kita anggap sebagai “blessing in disguise”  suatu keadaan yg terlihat tidak menguntungkan bagi banyak pihak, tapi satu sisi menyenangkan. “A misfortune that has an unexpected benefit”, ketidak beruntungan yang memberikan peluang bagi kita untuk belajar hal-hal baru. Tidak akan pernah tercipta sebuah perjumpaan tanpa alasan dan maksud yang indah. Dengan anak-anak yang unik kita menjadi tahu sebatas apa rasa ingin tahu kita apabila kita ingin lebih maka disitulah pengembangan diri kita sebenarnya. Inilah makna pendidikan yang sebenarnya.

Dan seperti kata Einstein, bahwa rasa ingin tahulah yang telah mempertahankan pendidikan formal. Saatnya kita memberikan anak-anak pilihan tentang apa yang mereka pelajari berpikir tentang berapa banyak mereka dapat belajar. Memberikan kemerdekaan mereka untuk memperoleh apa yang ingin mereka ketahui. Hal utama dari tugas-tugas kita sebagai guru adalah untuk memperbesar dan menghidupi rasa ingin tahu itu dalam dunia kecil kita yang bernama sekolah.

Sumber gambar: http://www.edutopia.org/

Paperless School

value_paperlessIde tentang paperless school tampaknya telah dimulai semenjak kementerian pendidikan mempekenalkan buku BSE dalam konsep E-Book, tapi entah mengapa tidak berlanjut. Ide transisi pembelajaran kelas dari handbook menjadi e-book, secara tidak langsung telah mengkampanyekan panggilan bagi guru untuk pergi paperless. Sebentuk keinginan untuk mewujudkan penghematan biaya pemuatan kertas dan harmonisasi pendidikan dengan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat menjadi populer dengan para guru untuk berbagai kemudahan ketika mendistribusikan dan mengumpulkan bahan-bahan. Tapi bagaimana dengan belajar? Konsep paperless adalah sebuah langkah maju berbasis teknologi tinggi untuk melakukan apa yang setiap orang selalu ingin lakukan. Tapi apakah kita akan benar-benar tidak menggunakan kertas?

Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan mengandung selulosa dan hemiselulosa. Kertas dikenal sebagai media utama untuk menulis, mencetak serta melukis dan banyak kegunaan lain yang dapat dilakukan dengan kertas misalnya kertas pembersih (tissue) yang digunakan untuk hidangan, kebersihan ataupun toilet. Adanya kertas merupakan revolusi baru dalam dunia tulis menulis yang menyumbangkan arti besar dalam peradaban dunia.

Sebelum ditemukan kertas, bangsa-bangsa dahulu menggunakan tablet dari tanah lempung yang dibakar. Hal ini bisa dijumpai dari peradaban bangsa Sumeria, Prasasti dari batu, kayu, bambu, kulit atau tulang binatang, sutra, bahkan daun lontar yang dirangkai seperti dijumpai pada naskah naskah Nusantara beberapa abad lampau. Sekarang hampir dapat dipastikan bahwa setiap hari kita pasti menggunakan atau paling tidak berhubungan dengan kertas. Akan tetapi, tanpa sadar kalau perilaku boros kertas itu ternyata turut membantu laju penguranga hutan (deforestasi).

Harmonisasi Dengan Alam

Padahal hutan adalah bagian dari ekosistem yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. “Ekosistem hutan menyediakan berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dan fauna untuk kesinambungan hidup manusia kini dan di masa depan. Sejauh ini tercatat laju kerusakan hutan di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai peringkat tiga terbesar di dunia. Untuk memproduksi kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku lainnya. Setiap jam, dunia kehilangan 1.732,5 hektare hutan kayu karena ditebang untuk dijadikan bahan baku kertas. Setiap tahun hutan Indonesia yang hilang setara dengan luas pulau Bali. Sebab setiap 15 rim kertas ukuran A4 itu akan menebang 1 pohon berusia 5 tahun. Setiap 7000 eks lempar koran yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17 pohon hutan. Dalam satu hari ada berapa jutaan lembar kertas yang dipakai oleh orang Indonesia, dan ini artinya ada jutaan pohon hutan yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sehingga jika seandainya kita menghemat 1 ton kertas, berarti kita juga menghemat 13 batang pohon besar, 400 liter minyak,4100 Kwh listrik dan 31.780 liter air. Untuk memproduksi 3 lembar kertas membutuhkan 3 liter air. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan gas karbondioksida sebanyak kurang lebih 2,6 ton. Jumlah ini setara dengan gas buang yang dihasilkan sebuah mobil selama 6 bulan. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan kurang lebih 72.200 liter limbah cair dan 1 ton limbah padat.

Hal meningkatkan resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusak karenanya. Pada akhirnya kehidupan umat manusia menjadi terancam. Ketika lingkungan telah mengalami kerusakan, kita baru menyadari pentingnya pelestarian lingkungan. Kita sadar bahwa apa yang dilakukan pada masa lalu adalah suatu kekeliruan yang besar. Dahulu manusia selalu berfikir apa yang dapat saya ambil dari lingkungan? Manusia merasa seolah-olah dirinya berada di luar lingkungan. Padahal, terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab yang menuntut peran serta setiap manusia untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Hal ini berlaku untuk semua aspek, tidak terkecuali pendidikan

Sehingga pendidikan seyogyanya sebagai proses peningkatan kualitas pendidikan harus merasa sebagai bagian dari lingkungan yang ada disekitarnya. Dasar pemikiran inilah yang kemudian mempopulerkan konsep paperless sebagai visi masa depan pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pemikiran yang sekaligus memperluas ruang belajar dari yang selama ini hanya selebar dan setebal buku, menjadi demikian luas dan saling terkait. Mendefenisikan kembali manusia tidak lagi sebagai makhluk independen tetapi sebagai makhluk dependen, yang kelangsungan hidupnya juga terkait dengan kelangsungan komponen lain yang ada dilingkungan hidupnya.

Otonom dan Bertanggung Jawab

Konsep ini kemudian berkembang menjadi beragam istilah dengan defenisinya masing-masing. Mulai dari konsep paperless school, paperless learning, paperless teaching dan lain-lain yang kesemuanya mengharuskan kita melihat kembali pada konsep kita tentang kelas, sumber belajar, fungsi dan peran guru. Sebab semua proses belajar dan bekerja tidak lagi harus menemukan jalan melalui kertas sebab siswa tentu akan begitu banyak kehilangan. Ukuran dari sebuah ide tidak perlu dibatasi oleh jumlah kertas yang tersedia untuk menampungnya.

Dalam dunia pendidikan konsep ini berarti menerapkan sistem sentralisasi (centralized system) pada individu siswa dengan membangun kesadaran belajar (self-regulated learning). Hal ini sesuai dengan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

Sehingga untuk menerapkan hal konsep paperless school tidak perlu merubah konsep kurikulum. Pemerintah pusat hanya perlu membuat model kurikulum KTSP yang sekarang telah bertransformasi menjadi kurikulum 2013, dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.

Lebih jauh, konsep paperless ini tidak dapat dipungkiri akan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Bahkan mendekatkan masyarakat dalam pengambil keputusan pendidikan, sebagai pihak yang selama ini dianggap sering mempersalahkan institusi pendidikan terhadap apa yang terjadi pada siswa. Sehingga kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.

Dampak positif dari diberlakukannya konsep paperless school dalam pendidikan, adalah diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada siswa, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas belajar (siswa) untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam pembelajaran. Sehingga pada gilirannya mereka mampu menjadi lebih mandiri, mampu memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal, dan lebih peka terhadap kebutuhan aktualisasi diri di masa depan.

Sekarang apakah konsep paperless school akan dengan mudah diterapkan ? Dan bersediakah para guru itu memberikan otoritas belajar kepada siswa dengan konsekuensi perubahan yang tidak biasa dan sulit untuk kita bayangkan bersama.

Sumber gambar: http://www.thepaperlessproject.com/

Kamp Konsentrasi

schoolkampBeberapa waktu belakangan ini, tepatnya di Tahun 2009 Kepolisian Republik Indonesia sempat disibukkan  dengan ajaran Satrio Piningit Weteng Buwono yang menghebohkan, ajaran ini dianggap menyimpang karena membolehkan hubungan bersama suami istri didepan peserta upacara. Terus, bagaimana kalau ada ajaran yang membolehkan ”mandi bersama” seperti di  tempat kami dulu atau ditempat-tempat lain?Tentunya, mandi bersama ini bukan ajaran sesat tetapi sekedar siasat beberapa siswa yang bangun kesiangan dan khawatir terlambat. Begitulah salah satu cerita dari seorang teman, saat mengawali diri menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), suatu profesi yang masih diimpikan oleh mayoritas orang di negeri ini.

Tentunya saya tidak menuliskan sepenggal cerita diatas dengan lengkap, karena pastinya akan banyak pihak yang keberatan dengan tulisan ini nantinya. Tetapi entah mengapa kondisi yang sama juga dialami oleh teman-teman yang lain, yang kebetulan menjalani hal yang sama. Fasilitas yang terbatas dan persoalan waktu, seolah mengharuskan kita semua untuk berlaku hal yang sama. Mungkin inilah yang sebenarnya ingin diajarkan dalam proses ini, tentang bagaimana kita bersikap terhadap kondisi yang ada dengan kondisi ideal yang seharusnya, sehingga pilihan untuk “mandi bersama” menjadi solusi yang secara sadar harus dilaksanakan. Tapi tentunya tidak semua melakukan hal tersebut, dengan bangun lebih pagi beberapa teman pun ternyata bisa melakukan hal yang wajar. Hal inilah yang mengingatkan kita tentang bagaimana kehidupan yang harus dijalani oleh mereka yang menghuni kamp konsentrasi perang dunia kedua.

Viktor Frankl, seorang tawanan di dalam kam konsentrasi selama Perang Dunia kedua, pernah berkata  “Kami yang hidup dalam kamp konsentrasi bisa mengingat orang-orang yang berjalan dari barak ke barak menghibur sesama, memberikan kepingan roti mereka yang terakhir. Jumlah mereka boleh jadi sedikit; tetapi itu cukup membuktikan  bahwa segalanya bisa dirampas dari seorang manusia kecuali satu hal: kebebasan manusiawi yang terakhir – memilih sikap kita dalam setiap situasi yang bagaimana pun, memilih cara kita sendiri.”  (Man’s Search for Meaning). Pilihan proaktif dari sikap kita adalah “kebebasan manusiawi yang terakhir”. Itulah! Kebebasan menentukan pilihan! Oleh kebebasan manusiawi yang terakhir itu pulalah, Viktor Frankl berhasil menciptakan teori psikologinya: “Logoterapi”. Tentunya bagaimana kita bersikap terhadap keadaan yang terkesan tidak ideal menjadi tolok ukur keberhasilan kita, tidak terkecuali apa yang sudah kita bahas diawal tulisan ini.

PNS yang direkrut dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda membawa konsekuensi logis terhadap pola pikir (mindset) mereka yang berbeda, untuk mendukung agar mampu melaksanakan tupoksi di unit kerjanya maka diperlukan mengubah pola pikir dirinya. Disamping itu adanya image negatif yang telah tertanam dalam diri PNS seperti PNS cenderung Korupsi, indisipliner, PGPS (Pinter Goblok Pendapatan Sama), dan lain – lain. Image yang demikian akan mmbentuk pola pikir PNS yang negatif dan ini berarti akan berpengaruh terhadap konsep diri PNS, oleh karena itu sangat diperlukan perubahan pola pikir PNS agar mampu mengemban peran PNS yang bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dengan merubah pola pikir diharapkan PNS mampu mengembangkan pola pikir yang positif dan mampu meminimalisasi pola pikir yang negatif karena pola pikir positif akan membentuk perilaku yang positif demikian pula pola pikir negatif akan membentuk perilaku yang negative. Perilaku yang positif akan berdampak positif terhadap pensuksesan tugas dan peranan PNS sebagai abdi Negara, abdi masyarakat dan pelayan masyarakat, sehingga akan terhindar dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Setiap saat kita dapat menentukan pilihan untuk merubah pola pikir apakah kita akan tetap dengan pola pikir yang positif atau pola pikir yang negatif.

Merubah cara pandang

Berpikir positif merupakan sikap mental yang melibatkan proses memasukan pikiran-pikiran, kata-kata, dan gambaran-gambaran yang konstruktif (membangun) bagi perkembangan pikiran anda. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan, sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan anda. Apapun yang pikiran anda harapkan, pikiran positif akan mewujudkannya. Jadi berpikir positif juga merupakan sikap mental yang mengharapkan hasil yang baik serta menguntungkan.

Pada dasarnya, segala sesuatu yang kita lakukan berakar dari cara kita melihat masalah karena itu, bila ingin mengubah nasib secara drastis, kita perlu melakukan  revolusi cara berpikir. Stephen Covey pernah mengatakan: “Kalau Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda, tapi bila Anda menginginkan perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma Anda.” Covey benar, perubahan tidak selalu dimulai dari cara kita melihat (See). Ia bisa juga dimulai dari perilaku kita (Do). Namun, efeknya sangat berbeda. Cara kita melihat masalah sesungguhnya adalah masalah itu sendiri. Karena itu, untuk mengubah nasib, yang perlu Anda lakukan cuma satu: Ubahlah cara Anda melihat masalah. Mulailah melihat atasan yang otoriter, bawahan yang tak kooperatif, pelanggan yang cerewet dan pasangan yang mau menang  sendiri  sebagai tantangan dan rahmat yang terselubung. Orang-orang ini sangat  berjasa bagi Anda karena dapat membuat Anda lebih kompeten, lebih profesional, lebih arif dan lebih sabar.  “Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk bertumbuh.”

Hal ini merujuk pada apa yang disampaikan Apostle Paul “…whatever is true, whatever is noble, whatever is right, whatever is pure, whatever is lovely, whatever is admirable—if anything is excellent or praiseworthy—think about such things” Yang berarti bahwa yang menentukan adalah bagaimana kita memandang sebuah potensi, kecerdasan, tantangan dan peluang sebagai sebuah proses yang harus diupayakan dengan ketekunan, kerja keras, komitmen untuk tercapainya keberhasilan visi dan tujuan hidup kita. Proses pembelajaran diri selalu dimulai dari perumusan visi dan misi hidup. Dan inti dari self learning atau pembelajaran diri adalah pola pikir. Inilah yang akan memandu arah dan jalan keberhasilan kita. Inilah yang akan mengarahkan kemana tujuan kita dan menjadi seperti apakah kita nanti. Namun itu tidak cukup. Perlu sebuah mind set yang berkembang (growth mindset) yang akan menjadi katalisator dalam merespon setiap peluang, tantangan, dan perubahan dan mengubahnya menjadi sebuah proses  yang dijalankan dengan ketelatenan, usaha, dan komitmen yang kontinyu dan berkelanjutan, untuk menjadi berhasil, berkembang, dan berkualitas. Seseorang dengan mindset berkembang akan selalu memandang bahwa bakat, kecerdasan, dan kualitas adalah sesuatu yang bukan given (sudah ditetapkan), tetapi bisa diperoleh melalui upaya-upaya tertentu.

Kembali pada cerita mandi bersama diawal tulisan ini, dengan mendahulukan aspek “darurat” tentunya  tidak jauh beda dengan kondisi disaat kita harus makan didepan ponten. Disini tidak membicarakan soal hukum agama, apakah tindakan ini sah dilaksanakan atau tidak. Tetapi, asalkan kita tidak menggunakan imajinasi atau pola pikir negatif, tentunya kita akan dapat menikmatinya seperti halnya kegiatan lain yang kita kerjakan. Dan oleh karenanya kita akan berkembang sebagai pribadi yang lebih kuat dibanding sebelumnya.

Sumber gambar: http://www.pcbsdevlieger.nl/